Buku itu sumber ilmu, membaca sebagai kuncinya. Sebuah
buku mampu mengungkapkan sesuatu, menggambarkan seseorang dan menceritakan
selaksa peristiwa dalam rangkaian sejarah kehidupan. Buku merupakan jendela
dunia yang bisa memberikan banyak pengetahuan, isnpirasi, dan pencerahan.
Dengan membaca buku, kita bisa menjelajahi dunia, melahirkan karya bahkan
mengubah peradaban.
23 April, ditetapkan UNESCO sebagai hari buku sedunia.
Ini menunjukkan arti penting dan peran sebuah buku memang luar biasa bagi kehidupan
manusia. Hingga saat ini, peran buku masih belum tergantikan dalam kapasitasnya
sebagai sumber pustaka meskipun banyak media instant yang lebih praktis
digunakan, seperti internet. Sejarah menjadi sebuah kisah faktual yang bisa
diketahui generasi berikutnya karena dibukukan. Karya sastra bisa dinikmati
para pembaca karena dibukukan. Sebuah wahyu, kalamullah dan diary kehidupan
seorang Rasulullah (hadits, sunnah) dapat dibaca, ditelaah, dan diamalkan
karena dibukukan, sehingga menjadi panduan kehidupan umatnya. Sebuah buku mampu
mengumpulkan catatan yang tercecer, serpihan ilmu yang terserak, menjadi
serangkaian data dan peristiwa yang berguna dalam memberdayakan kehidupan.
Sejarah Panjang Buku
Sebuah buku lahir dari perkembangan kebutuhan akan
pentingnya komunikasi dan informasi, serta kemampuan daya pikir manusia juga
kelemahan daya tampung pikiran manusia. Di zaman kuno, tradisi komunikasi dan
penyampaian informasi berupa syair, doa-doa, maupun cerita masih bersifat
lisan, disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga metode menghafal menjadi
sebuah ciri tradisi masa ini. Semakin lama, informasi yang harus dihafal pun
semakin banyak, sedangkan kapasitas memori mereka kian melemah. Mereka akhirnya
berpikir untuk menuangkan beragam informasi ini melalui tulisan juga gambar.
Karena itu, Sejarah perkembangan buku tidak lepas dari perkembangan tulisan.
Tulisan hieroglif bangsa Mesir Kuno, tulisan pada keping-keping batu berupa
prasasti, tulisan-tulisan pada daun
lontar atau papyrus, serta tulisan pada kulit-kulit binatang
dapat dikatakan sebagai buku kuno.
Para peneliti sejarah menyatakan bahwa tulisan pertama
yang tersusun secara alfabet ditemukan di Mesir pada tahun 1800 SM. Tentu saja
bentuknya sangat berbeda dengan buku yang kita kenal sekarang. Buku yang dibuat
bangsa Mesir ini menggunakan lapisan papyrus, yakni tumbuhan sejenis alang-alang
yang banyak tumbuh di tepi sungai Nil. Papirus dipipihkan hingga membentuk
lembaran. Kumpulan lembaran ini kemudian digulung dan disebut buku. Buku
pertama yang ditulis di lembaran papyrus berkisah tentang Raja Neferirkare Kaki
pada Dinasti Kelima, sekitar 2400 SM. Tulisan pada papyrus ini juga banyak
digunakan oleh bangsa Romawi. Dalam perkembangannya, panjang gulungan papyrus
bisa mencapai puluhan meter, sehingga merepotkan orang yang menulis dan
membacanya. Gulungan papyrus terpanjang terdapat di British Museum London.
Panjangnya mencapai 40,5 meter.
Kesulitan menggunakan gulungan papyrus ini kemudian
melahirkan sebuah inovasi di zaman itu. Sejalan dengan keinginan dan kebutuhan
untuk meningkatkan sisi kemudahan dalam peradabannya, maka di awal Abad
Pertengahan gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang
dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex. Selain codex, orang
juga mengenal manuskrip sebagai bentuk yang hampir sama dengan codex, yakni
kulit binatang sampulnya terbuat dari kayu.
Codex sering disebut sebagai kumpulan naskah kuno yang berisi ajaran agama. Kata codex diambil dari bahasa Latin, yang berarti blok kayu. Balok kayu ini kemudian dilapisi lilin di atasnya hingga tmembentuk sebuah buku kuno. Kelebihan codex dibanding papyrus ialah dapat dipakai ulang. Ketika ingin menulis yang baru, lapisan lilinnya dipanakan hingga meleleh dan kosong. Barulah menulis. Tulisan tangan dalam codex dan manuskrip dianggap sebagai tulisan yang mulai tersusun secara rapi.
Codex sering disebut sebagai kumpulan naskah kuno yang berisi ajaran agama. Kata codex diambil dari bahasa Latin, yang berarti blok kayu. Balok kayu ini kemudian dilapisi lilin di atasnya hingga tmembentuk sebuah buku kuno. Kelebihan codex dibanding papyrus ialah dapat dipakai ulang. Ketika ingin menulis yang baru, lapisan lilinnya dipanakan hingga meleleh dan kosong. Barulah menulis. Tulisan tangan dalam codex dan manuskrip dianggap sebagai tulisan yang mulai tersusun secara rapi.
Pada pertengahan Abad V, terjadi perkembangan yang
signifikan dari codex. Masyarakat di Timur Tengah mulai menggunakan kulit domba
untuk menulis. Kulit domba disamak dan dibentangkan hingg membentuk lembaran.
Lembar kulit domba ini disebut pergamenum dan selanjutnya disebut perkamen,
artinya kertas kulit. Lembaran kulit domba ini kemudian disusun secara
berlipat, diikat di salah satu sisinya dengan menggunakan jepitan dari kulit,
sehingga lebih mudah digunakan. Perkamen dianggap sebagai bentuk awal dari buku
berjilid.
Buku yang serupa dengan yang kita kenal sekarang,
berkembang di Zaman Pertengahan. Bahan dasarnya terbuat dari kulit anak sapi
(vellum). Vellum dibuat menjadi lembaran, dan setiap lembarnya dilipat di
bagian tengahnya. Vellum lebih tebal daripada perkamen, sehingga kedua sisinya
bisa ditulisi. Setiap empat lembar vellum menjadi delapan halaman dan dianggap
sebagai satu bagian/satu buku. Bagian yang sudah selesai itu dijahit di bagian
belakang. Kedua bagian depan dan belakang kemudian dilapisi kayu, ditutup
kembali dengan kulit, sehingga hasilnya seperti buku yang dipakai sekarang.
Cina dan Jepang merupakan bangsa yang mengembangkan teknologi lebih cepat dan
sederhana dalam mengubah bentuk buku gulungan menjadi buku bersusun dan
berlipat yang diapit sampul, hingga bentuknya seperti lipatan kain gorden.
Semua buku kuno tersebut ditulis tangan. Isi
tulisannya berupa berita/pengumuman, kisah pengembaraan dan penaklukkan suatu
wilayah, serta pemikiran dan perjalanan spiritual mereka. Kebanyakan tulisan
yang dibukukan ialah kitab-kitab suci yang berisikan ajaran keagamaan. Kegiatan
menulis dan membukukan ajaran agama ini dilakukan banyak biarawan atau pendeta
di tahun 500-an. Mereka menghabiskan waktu untuk membuat buku dengan tulisan
tangan sendiri, menggunakan huruf yang dilengkapi dengan gambar dan hiasan
berwarna. Pekerjaan yang menghabiskan banyak waktu dan memerlukan ketelitian
tinggi. Mereka lakukan semua itu dengan ketekunan dan semangat spiritual yang
tinggi untuk menunjukkan pengabdian kepada Sang Pencipta. Karena itulah,
buku/kitab kuno sangat berharga, sebagaimana berharganya hidup, peristiwa dan
perjalanan hidup juga kemampuan menuliskan kisah hidup yang mereka miliki.
Perkembangan pembuatan buku tidak lepas dari peran
signifikan pembuat kertas asal Cina Tsai Lun. Sekitar tahun 105 M, ia
menyerahkan contoh kertas kepada Kaisar Ho Ti. Pembuatan kertas sendiri telah
dilakukan sejak Abad ke-11 M, kemudian digunakan secara massal di abad ke-16 M.
Hasil penciptaan kertas ini telah membawa Cina menjadi pengekspor kertas
satu-satunya di dunia pada Abad ke-2 M. Pada pertengahan tahun 800-an, buku
mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan dari segi
pembuatannya. Tahun 868 M, para peneliti menemukan Diamond Sutta, sebuah buku
dengan cetakan paling tua. Tulisan pada buku ini masih menggunakan huruf
seperti huruf Cina (tulisan berderet ke bawah, tidak ke samping), serta
dipenuhi gambar.
Penemuan dan pembuatan kertas menjadi tonggak
perkembangan pembuatan buku. Di Cina, orang mulai menuliskan karyanya melalui
pencetak huruf yang terbuat dari balok kayu. Perkembangan perbukuan di cina
selanjutnya menginspirasi warga Eropa. Johanes Gensleich Zur Laden Zum
Gutenberg yang berkebangsaan Jerman menemukan cara pencetakan buku dengan
huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata
atau kalimat. Gutenberg kemudian melengkapi ciptaannya dengan mulai membuat
mesin cetak pada abad ke-15. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah
buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang
digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin cetak Gutenberg mampu menggandakan
cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.
Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga
abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni
pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20. Pembuatan mesin
cetak oleh Guttenberg menandai proses awal menuju modernisasi pembuatan buku.
Pada tahun 1800 M, ditemukan mesin pencetak kertas yang memakai tenaga uap dan
bisa mencetak 1100 lembar/jam. Selanjutnya, di akhir abad ke-19 ditemukan lagi
mesin yang bisa menyusun 6000 kata/jam dan semuanya sekali ketik.
Sebuah sejarah panjang pembuatan buku, mencerminkan
perjuangan panjang manusia dalam menciptakan karya, mengubah peradaban dari
zaman ke zaman. Sekarang, dunia perbukuan sudah semakin modern, dengan desain
yang menarik, berwarna, tata letak yang bagus, proses pembuatan yang singkat,
serta hasil yang banyak. Berkaca ke masa lalu, betapa membuat tulisan untuk
dibukukan itu memerlukan ketelitian, ketelatenan, kesabaran dan tentu saja
pengabdian yang total, dengan segala keterbatasan sarana. Maka, hargailah buku
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Membaca merupakan kunci pembuka kemanfaatan
sebuah buku. Dengan membaca, kita semakin banyak tahu. Semakin banyak tahu,
semakin besar kemauan kita untuk memulai dan mengubah sesuatu menjadi lebih
berarti.
sumber : http://niahidayati.net/
0 komentar:
Posting Komentar